Scroll untuk baca artikel
Investigasi

Kamus Feminis: Cyborg Manifesto, Aku Adalah Cyborg Bukan Dewi

×

Kamus Feminis: Cyborg Manifesto, Aku Adalah Cyborg Bukan Dewi

Share this article
kamus-feminis:-cyborg-manifesto,-aku-adalah-cyborg-bukan-dewi
Kamus Feminis: Cyborg Manifesto, Aku Adalah Cyborg Bukan Dewi

Cyborg bisa dibilang dikenal luas berkat budaya populer yang punya peran cukup besar mengenalkan konsep ini ke masyarakat. Mungkin kamu termasuk salah satu yang mengenal cyborg lewat komik atau film. Trilogi Star Wars dan Robocop adalah beberapa diantaranya.

Dalam studi feminis, kajian tentang cyborg membuka kemungkinan-kemungkinan baru terkait identitas. Ia sekaligus mendobrak batasan-batasan kategori yang tetap, tak berubah, bias dan tak adil. Donna Haraway, ahli biologi, filsuf sekaligus feminis adalah sosok yang banyak disebut dalam pembahasan soal cyborg.

Esainya yang berjudul “A Cyborg Manifesto: Science, Technology, and Socialist-Feminism in the Late Twentieth Century” atau lebih populer disebut “Cyborg Manifesto”adalah karya penting. Manifesto cyborg terbit pada 1985 di jurnal Socialist Review dalam konteks sosial politik berupa munculnya konservatisme dan terpilihnya kembali Ronald Reagan sebagai Presiden Amerika Serikat.

Meski sudah hampir 4 dekade esai ini dipublikasikan, tetapi gagasan Haraway masih relevan untuk dibahas. Salah satunya karena ia meletakkan fondasi bagi kajian tentang queer dan posthumanism.

Esainya merupakan kritik terhadap menguatnya esensialisme di sebagian kalangan feminis dan narasi patriarki yang berkembang pada saat itu. Ia menyoroti munculnya gerakan “feminisme Dewi/Goddess feminism”, sebuah upaya yang berkembang di Amerika pada waktu itu untuk menolak hal-hal yang bersifat teknologi dan mengembalikan perempuan ke alam. Haraway melihat gerakan ini secara khusus sebagai politik feminis yang reaksioner dan bukan progresif.

Gagasan esensialisme ini sering kali juga membatasi perempuan sebagai sesuatu yang berbeda secara kategoris dengan laki-laki. Sementara Haraway menolak pandangan yang berusaha mendefinisikan kondisi keperempuanan tersebut yang pada akhirnya memosisikan perempuan sebagai yang lain atau liyan.

Ia menganjurkan untuk merangkul metafora cyborg sebagai cara melampaui wacana esensialis tersebut. Sekaligus sebagai cara untuk hidup bersama dalam wacana yang menempatkan perempuan melalui keberbedaan atau keliyanannya.

Bagi Haraway, cyborg merupakan metafora bagi identitas kita yang terfragmentasi sekaligus realitas teknologi, ketubuhan, dan sosial kita di akhir abad kedua puluh.

Manifesto Sebagai Mitologi Politik yang Ironis

Haraway membuka Manifesto Cyborg dengan mengatakan bahwa ia ingin menulis “mitos politik” untuk masa kini yang setia pada feminisme dan materialisme. Mitos politik yang ditulisnya seharusnya membuat pembaca menganggapnya “menghujat” dan “ironis”. Ia juga menegaskan bahwa ironi merupakan strategi retoris sekaligus metode politik.

Ia mendefinisikan cyborg dalam empat cara berbeda. Yang pertama adalah sebagai “organisme sibernetik.” Kedua sebagai “hibrida mesin dan organisme.” Yang ketiga adalah sebagai “makhluk realitas sosial yang hidup”, dan yang keempat adalah sebagai “makhluk fiksi.”

Penting dipahami bahwa bagi Haraway, keempat deskripsi cyborg ini (sibernetik, hibrida, masa kini, masa depan) tidak terpisah, melainkan saling menentukan. Misalnya, Haraway berpendapat bahwa dalam istilah filosofis, tidak ada ruang nyata antara “realitas sosial yang dijalani” dan “fiksi”, karena satu kategori terus-menerus mendefinisikan dan menyempurnakan yang lain.

Haraway menunjukkan bagaimana feminis telah menggunakan gagasan tentang “pengalaman perempuan” dengan menggunakannya baik sebagai “fiksi maupun fakta yang paling penting dan politis.” Dengan cara yang sama, Haraway berpendapat, cyborg akan “mengubah apa yang dianggap sebagai pengalaman” bagi perempuan di akhir abad kedua puluh.

Hal penting dari Cyborg menurut Haraway adalah keberadaannya tidak terkait dengan mitos Oedipal dan mitos penciptaan yang menempatkan perempuan sebagai makhluk sekunder (narasi tulang rusuk). Keberadaan cyborg tidak bergantung pada reproduksi manusia, cyborg ada “di luar gender”. Karena itu cyborg punya potensi untuk melampaui mitologi Freudian yang menghantui feminisme selama berabad-abad.

Baca juga: Teknologi Saat Ini Masih Bias Gender, Gimana Perempuan Ambil Peran? 

Menurut Haraway cyborg bukanlah Frankenstein, yang menunggu untuk diselamatkan oleh tuan/ayahnya. Cyborg juga tidak mencari kelengkapan dengan mencari belahan jiwa heteroseksual, atau menginginkan komunitas melalui keluarga inti, seperti yang ada dalam mitologi psikoanalitis. Namun, meski cyborg “tidak memiliki cerita asal usul dalam pengertian Barat”, ia tentu memiliki sejarah–yang selalu terkait dengan kompleks industri militer.

Berbeda dengan narasi-narasi ini, Haraway menegaskan bahwa cyborg adalah keturunan tidak sah dari militerisme, kapitalisme patriarki, dan sosialisme negara. Dengan begitu cyborg tidak muncul dari dari Taman (Eden) yang terbentuk dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Tetapi ia berasal dari dunia hiper-teknologi, korporatisme strategis, dan dominasi informatika.

Haraway berpendapat cyborg adalah fakta masa kini, bukan masa depan, ini dapat dijelaskan lewat tiga “perlintasan batas” yang sudah terjadi saat ini. Yaitu kaburnya batas antara hewan dan manusia; manusia dan mesin; dan fisik dan nonfisik (yang sekarang disebut virtual).

Lebih jauh menurut Haraway karena cyborg berakar dalam kompleks industri militer, ia menyinggung cyborg sebagai “monster”. Namun, ia mengisyaratkan, cyborg adalah sosok yang menunjukkan “janji” bagi feminisme, sebagian karena menurutnya cyborg tidak setia pada asal-usul militeristiknya.

Identitas yang Terpecah-pecah

Haraway menyinggung tentang “kebutuhan akan persatuan,” dalam konteks untuk menghadapi dominasi ras, gender, seksualitas, dan kelas secara efektif. Tetapi ia juga mempersoalkan modus operandi standar kelompok feminis, yakni pengorganisasian politik yang didasarkan pada apa yang disebut “politik identitas”.

Ia berargumen sulit untuk menyebut feminisme seseorang dengan satu kata sifat. Lebih jauh menurutnya pencarian atas definisi yang esensial atas perempuan merupakan tindakan yang sulit dipahami sekaligus berbahaya. Bahkan secara historis, esensialisme menjadi alasan bagi dominasi perempuan (dunia pertama) atas orang lain, “demi kebaikan mereka sendiri.”

Bagi Haraway cyborg bersifat hibrida dan sementara, karena itu cyborg tidak bisa berhubungan dengan kategori politik yang membutuhkan identitas esensialis yang stabil. Alih-alih menggunakan identitas sebagai kategori politik, Haraway menganjurkan agar feminis mempertimbangkan untuk membangun koalisi berdasarkan gagasan afinitas yang lebih ramah terhadap cyborg.

Untuk mendasari argumennya, Haraway menganalisis frasa “perempuan kulit berwarna”, dengan mengusulkannya sebagai salah satu kemungkinan kategori politik afinitas. Sementara kategori seperti “Chicana” menunjukkan semacam esensi rasial. Teoretikus Chela Sandoval berpendapat bahwa tidak ada yang secara hakiki merupakan perempuan kulit berwarna. Sandoval menciptakan istilah “kesadaran oposisi” untuk menggambarkan dampak yang ditimbulkan oleh frasa “perempuan kulit berwarna” terhadap komunitas feminis. Haraway menganggap kesadaran oposisi konsisten dengan politik cyborg. Karena alih-alih identitas, ia menekankan bagaimana afinitas muncul sebagai hasil dari “keberbedaan, perbedaan, dan kekhususan.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *