Scroll untuk baca artikel
Investigasi

Cerai Karena KDRT, Ibu Yang Tak Bekerja Berhakkah Atas Hak Asuh Anak?

×

Cerai Karena KDRT, Ibu Yang Tak Bekerja Berhakkah Atas Hak Asuh Anak?

Share this article
cerai-karena-kdrt,-ibu-yang-tak-bekerja-berhakkah-atas-hak-asuh-anak?
Cerai Karena KDRT, Ibu Yang Tak Bekerja Berhakkah Atas Hak Asuh Anak?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, dan Perempuan Mahardhika. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya

Halo Klinik Hukum bagi Perempuan, saya Clara dari Surabaya. Saya ingin menanyakan kasus yang terjadi pada teman saya. Dia selama ini menjadi ibu rumah tangga dan tidak bekerja. Dia punya anak umur 12 tahun. Saat ini berencana cerai dengan suaminya karena kasus KDRT, bagaimana dengan hak asuh anaknya? Apakah bisa jatuh ke tangan ibunya meskipun dia saat ini tidak berpenghasilan? Mohon penjelasannya, terimakasih.

Jawab

Terimakasih Clara, sudah menghubungi Klinik Hukum bagi Perempuan. Berikut adalah penjelasan saya atas permasalahan teman Anda yang berencana untuk menggugat cerai suaminya karena kasus KDRT. Namun dia gamang, mengenai hak asuh anak dikarenakan teman Anda tersebut. Sebab selama ini menjadi ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan. 

Perlu diketahui, perceraian adalah peristiwa hukum yang akibat hukumnya diatur oleh hukum. Sehingga, ada beberapa akibat hukum dari cerai itu. Diantaranya adalah: (1) putusnya perkawinan; (2) pengasuhan anak-anaknya (apabila di dalam perkawinan tersebut dikaruniai anak); dan (3) akibat hukum atas harta bersama. 

Sehubungan dengan akibat hukum terhadap anak, diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105 Huruf c. Aturan itu terkait penentuan biaya pemeliharaan anak menjadi kewajiban Ayah. Ada juga Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagai berikut:

1)    Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya. Itu semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.

2)   Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan Pendidikan yang diperlukan oleh anak itu. Apabila bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3)   Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami. Yaitu, untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.

Baca Juga: Cerai karena Suami Poligami, Gimana Aturan Hukum soal Hak Istri dan Anak?

Dari ketentuan Pasal 41 di atas, secara tegas menjelaskan bahwa hak pengasuhan anak akibat cerai adalah menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Kecuali ada perselisihan, maka pengadilan yang memutuskan kepada siapa hak pengasuhan anak itu diberikan. 

Selanjutnya, dalam memberikan nafkah untuk biaya hidup, kesehatan, dan pendidikan sampai anak itu kawin atau mandiri adalah tanggung jawab bekas suami atau bapaknya. Selain itu, bekas suami juga diwajibkan memberikan nafkah kepada bekas istrinya sepanjang istri masih menjanda atau belum menikah dengan orang lain.  

Kemudian, berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UU 35/2014, sebagai orang tua dari anak-anak, mantan suami atau mantan istri juga berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

1.     mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

2.     menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;

3.     mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan

4.     memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.

Selanjutnya, mengenai pertanyaan Anda, bisakah ibu yang tidak berpenghasilan mendapatkan hak asuh anak apabila menggugat perceraian karena KDRT?

Baca Juga: Suami Palsukan Akta Cerai untuk Nikah Lagi, Bisakah Diproses Hukum?

Ini sebagaimana pernah dibahas dalam tanya jawab klinik hukum sebelumnya. Apabila istri mengajukan gugatan perceraian, maka hukum untuk hak asuh atas anak berhak dimiliki ibu. Selama anak masih berusia 12 tahun ke bawah. Namun, apabila usia anak sudah mencapai 12 tahun ke atas, maka anak berhak untuk menentukan orangtua yang dipandangnya pantas untuk mengasuhnya.

Dalam kasus teman Clara, tidak dijelaskan berapakah usia anak. Apakah anak tersebut 12 tahun ke bawah atau 12 tahun ke atas? Clara hanya menginformasikan bahwa usia anak 12 tahun saja. 

Perlu Anda ketahui, apabila usia anak yang dimaksud misal berusia 12 tahun lebih 1 hari, maka ia akan dikategorikan sebagai anak berusia di atas 12 tahun. Ini artinya anak tersebut memiliki hak untuk menentukan akan berada dalam asuhan ibu atau ayahnya. 

Hal berbeda akan terjadi apabila anak memilih diasuh oleh ayah. Akan tetapi hakim menemukan bukti-bukti bahwa ayahnya tersebut juga melakukan KDRT terhadap anak. Maka, bisa saja hakim mempertimbangkan hak pengasuhan anak diberikan kepada ibunya untuk menjamin keselamatan anak dari tindakan KDRT berlanjut yang dilakukan oleh ayahnya.

Baca Juga: Apa yang Dimaksud Saksi Korban dalam Pelaporan Kasus KDRT?

Adapun dasar hukum mengenai hak asuh anak otomatis jatuh ke dalam pengasuhan ibu adalah Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang pada prinsipnya menyatakan jika anak yang belum berusia 12 tahun, maka hak asuh anak akan jatuh kepada ibu.

Sementara bagi yang non-muslim, dasar hukumnya merujuk pada Yurisprudensi (putusan pengadilan terdahulu), sebagai berikut:

1.     Putusan Mahkamah Agung RI No. 126 K/Pdt/2001 tanggal 28 Agustus 2003. Aturan menyatakan bahwa: “Bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur pemeliharaannya seyogiyanya diserahkan kepada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu Ibu.”

2.     Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975. Aturan itu menyatakan: “Berdasarkan yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi kriterium, kecuali kalau terbukti bahwa Ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anaknya.”

Berdasarkan bunyi ketentuan hukum di atas, jelas bahwa bila terjadi perceraian, maka hak asuh terhadap anak yang masih di bawah umur jatuh kepada ibunya. Alasan ibu tidak berpenghasilan, tidak akan mengesampingkan hak ibu untuk mendapatkan hak asuh anaknya. 

Hal itu mengingat nafkah atas anak menjadi tanggung jawab ayahnya. Sebagaimana diatur Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105 huruf c. Yaitu soal poin menentukan biaya pemeliharaan anak menjadi kewajiban Ayah. Juga adanya Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang telah dijelaskan di atas. Ibu, dalam hal ini bisa mencari atau mengupayakan berpenghasilan untuk memperkuat perekonomiannya sebagai orangtua tunggal setelah pasca perceraian.

Baca Juga: Suami KDRT, Bisakah Saya Gugat Cerai dan Tuntut Harta Bersama?

Ketentuan mengenai berapa besar nafkah anak setelah bercerai tidak diatur secara spesifik dalam UU Perkawinan maupun KHI. Akan tetapi, besarnya perhitungan nafkah anak diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang hanya berlaku bagi pekerjaan tertentu.

Semisal apabila bekas suami/ ayah anak adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) PP 10/1983. Kemudian, pembagian gaji adalah sepertiga untuk bekas suami (yang PNS), 1/3 untuk bekas istrinya, dan 1/3 untuk anak atau anak-anaknya. 

Sementara, bekas suami atau ayah yang bekerja sebagai anggota Polri, yaitu suami wajib memberikan nafkah kepada anak paling sedikit 1/3 dari gaji jika hak asuh sementara berada pada istri, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (3) huruf b Perkapolri 9/2010.

Untuk bekas suami atau ayah yang bekerja sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (“TNI”) atau pegawai Kementerian Pertahanan (“Kemhan”). Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) dan (2) Permenhan 31/2017, pegawai Kemhan yang telah bercerai dengan istrinya wajib memberikan nafkah kepada mantan istri yang dicerai dan/atau kepada anak yang diasuhnya, sesuai dengan putusan pengadilan.

Persoalan yang sering terjadi pasca perceraian dimana pengadilan memutuskan hak asuh anak kepada ibu, bekas suami tidak melaksanakan kewajibannya atau tidak patuh pada putusan pengadilan untuk menafkahi anak-anaknya. 

Baca Juga: Jika Kamu Alami KDRT, Sebaiknya Lapor Polisi Atau Bercerai?

Apabila hal ini terjadi, ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh bekas istri kepada bekas suami untuk menuntutnya agar melaksanakan kewajibannya memberikan nafkah kepada anak. Dasar hukum yang dapat digunakan adalah Pasal 196 HIR, yang menyebutkan bahwa: 

“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan. Baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195. Buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.”

Aturan Pasal 196 HIR ini, berlaku bagi orang yang beragama Islam maupun non muslim. Caranya dengan mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Ketua Pengadilan Agama yang memutus perkara perceraian. Supaya Ketua Pengadilan Negeri/Ketua Pengadilan Agama memanggil dan memperingatkan bekas suami untuk memenuhi kewajibannya memberikan nafkah kepada anak atau anak-anaknya sesuai dengan putusan perceraian paling lambat 8 hari setelah diperingatkan. 

Apabila tata cara mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Ketua Pengadilan Agama tidak dipahami, Anda bisa datang ke Pusat Layanan Satu Pintu (PTSP) pengadilan di bagian informasi untuk mendapatkan penjelasan yang lengkap. 

Baca Juga: Tak Jadi Menikah Karena Pacar Ingkar Janji? Kamu Harus Berani Perjuangkan Hakmu

Selanjutnya dalam Pasal 197 HIR disebutkan:

“Jika sudah lewat tempo yang ditentukan itu, dan yang dikalahkan belum juga memenuhi keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap, maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat. Supaya disita sekalian banyak barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan itu.”

Demikian Clara penjelasan saya, semoga dapat menjawab pertanyaan Anda. Di samping itu, semoga persoalan yang dihadapi oleh teman Anda untuk mengajukan gugatan cerai bisa berjalan lancar untuk upaya mendapatkan hak asuh anak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *