Menurut data dari World Bank, laporan Logistic Performance Indeks (LPI) menyebutkan kontribusi logistic terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara setiap tahunnya makin meningkat. Di Indonesia sendiri, mulai dari 2012 LPI Indonesia berada di kisaran angka 2,94 atau berada di peringkat 59 dunia dan di 2018 naik menjadi peringkat 46 dan berada di kisaran angka 3,15.
Sebagai negara dengan tingkat ekonomi menengah ke atas, Indonesia dapat berbangga karena dengan angka tersebut membuatnya masuk dalam top performing logistic dibandingkan dengan beberapa yang tingkat ekonominya setara. Namun di tahun yang sama, jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia (3,22), Thailand (3,41), dan juga Vietnam (3,27), skor atau angka Indonesia masih berada di bawah ketiga negara tersebut.
Lalu, apa sebenarnya yang menjadi permasalahan logistik di Indonesia?
Mengutip dari Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, biaya logistik di Indonesia yang mencapai 24% dari total PDB atau senilai Rp 1.820 triliun per tahun merupakan biaya logistik yang cukup tinggi di dunia. Biaya logistik di Indonesia ini sangat jelas perbedaannya dibanding Malaysia yang hanya 15%, serta AS dan Jepang yang masing-masing hanya sebesar 10%.
Biaya logistik itu terbagi dalam biaya penyimpanan sebesar Rp. 546 triliun, biaya transportasi Rp. 1.092 triliun, dan biaya administrasi sebesar Rp. 182 triliun. Selain biaya yang sangat tinggi, mutu pelayanan logistik di Indonesia juga terbilang kurang. Kondisi tersebut diperparah dengan prasarana logistik yang masih konvesional, seperti jalan, pelabuhan, dan hubungan antarmoda.
Kemudian, belum terbangunnya konektivitas antara satu lokasi dengan dengan lainnya, serta pengiriman kontainer ke daerah jauh lebih mahal apabila dibandingkan dengan mengirim kontainer ke luar negeri. Sehingga cukup sulit bagi perusahaan angkutan barang untuk mengoptimalkan perputaran armadanya.