
Memperingati Hari Tani Nasional ke-63, puluhan petani Pundenrejo yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Petani Pundenrejo (Germapun) menggelar aksi di jalan. Aksi tersebut menuntut kepada pemerintah untuk melakukan reforma agraria sejati, khususnya di Provinsi Jawa Tengah.
“Berbagai konflik agraria di Jawa Tengah kian masif terjadi, hal tersebut ditenggarai oleh adanya berbagai kebijakan yang justru meningkatkan perampasan lahan,” kata Udin, salah satu petani anggota Germapun dalam rilis yang diterima serat.id, Minggu, 24 Oktober 2023
Udin mengatakan konflik agraria tersebut bisa dilihat dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah mulai dari pengesahan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, PP Nomor 41 Tahun 2021 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional, PP No.64 Tahun 2021 tentang Proyek Bank Tanah, serta berbagai peraturan lainnya
Di sisi lain tindakan perampasan lahan yang dilakukan pemerintah jelas bertentang dengan semangat reforma agraria yang dicanangkan oleh negara. Padahal, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 Perpres No 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria, negara mempunyai kewajiban untuk melakukan penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan.
Menurut Udin, pemerintah tak memiliki perhatian serius untuk menyelesaikan konflik agraria di Pundenrejo yang telah berlangsung sejak tahun 2000. Padahal sejak tahun 1950, petani Pundenrejo telah menguasai dan menafaatkan lahan.
“Akan tetapi tahun 1973 tiba-tiba lahan tersebut berubah status menjadi Hak Guna Bangunan milik PT Bappipundip dan kemudian saat ini beralih pada PT Laju Perdana Indah,” katanya
Udin menduga sejak tanah tersebut dikuasai oleh PT Bappipundip dan PT Laju Perdana Indah, perusahaan tersebut malah menyalahgunakan lahan HGB. Salah satu tindakannya adalah PT Laju Perdana Indah menggunakan lahan tersebut untuk dengan tebu, padahal berdasarkan Pasal 86 Peraturan Menteri Agraria No 18 Tahun 2021 menyatakan HGB diberikan untuk kegiatan usaha non pertanian.
Petani Pundenrejo mempunyai keterikatan sejarah dengan tanah garapan yang diklaim PT Laju Perdana Indah, pada tahun 2000 masyarakat kembali menguasai dan memanfaatkan lahan tersebut. Akan tetapi, pada tahun 2020 PT LPI dengan membawa aparat kepolisian dan Anggota Militer merusak dan mengusir warga dari lahan garappnya.
“Segala upaya sudah dilakukan oleh Petani Punderejo, namun sampai dengan saat ini Negara tidak pernah serius dalam penyelesaian konflik agraria di Pundenrejo,” katanya
Atas konflik yang terjadi, Udin mendesak Kementerian ATR/BPN RI untuk tidak memperpanjang HGB PT Laju Perdana Indah. Di samping itu, ia menuntut kepada Kementerian ATR/BPN RI untuk segera meredistribusikan lahan kepada Petani Pundenrejo.
“Terakhir menuntut kepada Kepala Kepolisan Republik Indonesia dan Panglima TNI untuk menghentikan tindakan kekerasan yang dilakukan kepada petani yang sedang mempertahankan dan memperjuangkan tanahnya,” katanya
Dhika, pegiat hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang mengungkapkan data dari Catatan Akhir Tahun LBH Semarang tahun 2020 menggambarkan bahwa di Jawa Tengah terdapat 36 kasus dengan jumlah korban sebanyak 2.352 dengan aktor pelannfaran HAM paling banyak dari Pemerintah Pusat. Sebanyak 24 kasus lewat kebijakan Proyek Strategis Nasional.
Berbagai lahan pertanian di Jawa Tengah akhirnya beralih fungsi guna diperuntukan berbagai Innfrastruktur, PLTU dan kawasan industri. Salah satunya seperti yang terjadi di Batang, di mana lahan pertanian yang digarap masyarakat seluas kurang lebih 250 Hektar berubah menjadi kawasan Industri. Tak hanya itu, bahkan di lain tempat tanah pertanian seluas 20 Hektar dirampas untuk pembangunan PLTU Batang.
“Selain alih fungsi lahan pertanian, konflik agraria juga banyak terjadi pada sektor perkebunan dan kehutanan,” katanya