Dalam dokumen rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup proyek tol tanggul laut Semarang Demak, ada dampak perubahan arus laut ke arah utara. Imbasnya tiga wilayah di Demak terancam terdampak secara langsung oleh perubahan gelombang laut yakni Dukuh Bedono, Dukuh Badong, Dukuh Timbulsloko.

Kondisi Dukuh Bedono, Desa Bedono, tak lagi sama. Rusipan masih ingat sekitar tahun 1995, saat usianya 37 tahun, masih memiliki sawah dan tambak, yang hanya berjarak beberapa meter dari depan rumahnya.
“Dulu gemah ripah loh jinawi,” katanya.
Sawahnya seluas 2 hektare. Saat panen, ia bisa mendapatkan hasil rata-rata 7-8 kuintal, terkadang mencapai 1 ton. Hasil tambak bisa mendapatkan 4-5 kuintal bandeng.
Ia sepenuhnya menggantungkan hidupnya dari hasil panen, yang dirasa lebih dari cukup untuk kebutuhan keluarganya. Saat itu abrasi dan banjir rob belum jadi masalah.
Meski begitu, penanaman mangrove sudah dimulai para petambak.
Memasuki tahun 2005, gelombang air laut perlahan meninggi dibandingkan biasanya. “Karena reklamasi Tanjung Mas Semarang sampai ke tengah, maka gelombang sampai ke sini,” katanya
Hanya dalam jangka waktu beberapa tahun, gelombang laut tersebut melahap habis sawah dan tambak. Hilangnya sumber mata pencaharian, praktis membuat Rusipan dan sebagian warga sekitar beralih profesi jadi nelayan.
Selain sawah dan tambak, abrasi secara perlahan menghancurkan jalan desa. Sepanjang 1,5 km jalan yang menghubungkan garis bibir pantai di sisi barat Dukuh Bedono hilang.
Pada akhirnya, abrasi membuat warga kompak memandangnya sebagai persoalan serius. Sebagai respons, warga menggalakkan penanaman pohon mangrove.
Dari pantauan citra satelit Google Earth terlihat jelas kondisi Dukuh Bedono telah banyak berubah. Pada tahun 2003 pantuan citra satelit mencatat luas area sawah dan tambak Dukuh Bedono yang berada pada sisi utara dan selatan sekitar 184 hektare.
Sebelas tahun kemudian pada Oktober 2012 sebagian besar area tersapu ombak dan menjadi lautan disertai dengan area pohon mangrove yang ditanam oleh warga dengan luas terbesar sebanyak 21,2 hektare di sisi utara Dukuh Bedono.
Selain sawah dan tambak, abrasi secara perlahan juga menghancurkan empat jalan Dukuh Bedono yang menghilang. Ruas jalan tersebut yakni sepanjang 490 meter berada di sisi barat Dukuh Bedono, kemudian sepanjang 830 meter jalan yang berada di sisi selatan sekaligus menghubungkan Dukuh Mondoliko juga turut hilang, serta dua ruas jalan sepanjang 581 meter jalan di sisi utara yang menghubungkan Dukuh Bogorame, Desa Timbulsloko.
Kondisi Dukuh Bedono 2003-2012
Rusipan menceritakan meskipun area mangrove telah terbentuk, tak sekaligus menjamin lingkungan Desa Bedono terhindar dari abrasi. Pasalnya, arus gelombang memasuki desanya masih tinggi setiap tahun.
Bahkan, pada akhir tahun 2020, sekitar 40 rumah hancur tersapu gelombang. Imbasnya, pemerintah memberikan bantuan bedah rumah dan peninggian jalan.
Saat ini usia Rusipan 65 tahun dan ia tahu peninggian jalan hanya bisa mengatasi masalah abrasi dan banjir rob dalam waktu singkat.
Rusipan menduga, jika pengerjaan Tol Tanggul Laut Semarang Demak usai, arus gelombang ke wilayahnya akan semakin tinggi. Ini seolah mengingatnya kembali pada kejadian tahun 2005.
“Ini akan berdampak semua gelombang akan cepat ke pinggir laut. Nanti pinggir laut akan (masuk) ke pinggir jalan ini,” katanya
Rusipan berkata mayoritas warga telah lama mengusulkan kepada pemerintah agar ada pembangunan sabuk pantai. Tujuannya untuk menahan gelombang tinggi yang masuk ke wilayahnya.
Selain itu, warga meminta pendirian talud untuk pemukiman Dukuh Bedono di sisi selatan. Sebagian besar rumah di sisi ini sudah tak lagi berada di atas tanah melainkan rumah panggung yang mengandalkan fondasi kayu dan bambu.
“Mangrove itu enggak akan mampu sendirian lawan musuh gelombang laut dan angin laut juga kencang,“ katanya
Perubahan Kondisi Dukuh Bedono di Bagian Barat yang berbatasan langsung dengan laut, sejak 2020 sampai 2023
Tepat di sisi timur Dukuh Bedono, yakni di Dukuh Badong, Desa Sidogemah, masalah banjir abrasi dan rob juga jadi persoalan serius.
Tinggi air rob di dukuh ini antara 40-70 cm. “Kalau (di bulan Agustus ini) jam 12 siang (saat rob tinggi), enggak bisa dilewati motor,” kata Abdullah Uyer, warga Dukuh Badong.
Kondisi Dukuh Badong pernah memiliki lahan sawah dan tambak, sama seperti Dukuh Bedono. Data dari citra satelit memperkirakan luas sawah dan tambak tersebut mencapai 166 hektare. Namun, lahan-lahan ekonomi warga itu pun hilang ditelan air laut secara perlahan sejak tahun 2005.
Memasuki tahun 2020, abrasi bahkan sempat menghancurkan jembatan penghubung Dukuh Badong ke Dukuh Mondoliko, Desa Bedono. Di samping itu, abrasi telah menghantam fondasi rumah di samping musala warga.

Akibatnya, di sisi selatan Dukuh Badong, air laut langsung masuk tanpa penghalang ke jalanan setiap hari. Air pasang rob terkadang merendam dua ruas jalan akses di Dukuh Badong menuju Dukuh Bedono.
“Suara ombak karo angin walalah…,” ujar Abdullah. “Kalau orang yang enggak kenal, wes wedi.”
Perasaan Abdullah juga makin khawatir bila pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang Demak usai. Ia menduga akan ada gelombang tinggi bergeser ke wilayahnya.
Guna mengantisipasinya, penduduk Dukuh Badong juga menginginkan pembangunan sabuk pantai, sama seperti warga Dukuh Bedono.
“Sabuk pantai itu harus dikasih masyarakat. Kalau enggak, nanti air rob bisa sampai ke jalan,” katanya
Pantauan citra satelit Google Earth juga memperlihatkan kondisi Dukuh Badong hanya memiliki penahan arus laut berupa tanaman mangrove yang terkumpul di perbatasan Dukuh Badong dengan Dukuh Bedono. Di samping itu, sawah dan tambak yang dimiliki Dukuh Badong pada tahun 2003 seluas 166 hektare yang berada pada sisi utara dan selatan, pada 2023 habis terendam oleh laut dan lenyap tak bersisa.
Perubahan Kondisi Dukuh Badong sejak 2003 sampai 2023
Hanya 500 meter dari arah utara Dukuh Bedono dan Dukuh Badong, abrasi dan banjir rob paling parah terlihat jelas di Dukuh Timbulsloko, Desa Timbulsloko. Bahkan, jalan tak bisa lagi digunakan lantaran sepenuhnya terendam air.
Untuk menggantikan jalan yang terendam, warga menggunakan papan kayu selebar 1 m dengan panjang sekitar 500 m. Papan kayu ini terhubung antara satu rumah dan rumah lainnya.
Dengan papan kayu itu pula, kita cukup mudah mengetahui mana rumah yang ditinggalkan dan mana yang tidak. Rumah yang tak terhubung papan kayu, artinya rumah itu tak berpenghuni.
“Dulu jalan perkampungan ada dua,” kata Sulkhan.
Sulkhan menceritakan abrasi mulai melanda dukuhnya pada 2016. Ini terlihat saat tanaman mangrove yang jumlahnya sedikit di timur Dukuh Bedono berangsur-angsur rusak.
Rusaknya mangrove itu berdampak bagi warga. Jalan Dukuh Timbulsloko yang terhubung ke Dukuh Bogorame kemudian hancur tergenang abrasi.
Abrasi terus berlanjut. Pada 2017, saat air pasang, sesekali warga merasakan jalanan sebelah selatan itu terendam.
Bagi Sulkhan, kondisi itu masih tak menghkawatirkan. Rumahnya tepat di jalan sebelah utara. Saat tahun 2019, ia sempat membangun musala dengan bantuan dana dari Pemerintah Kabupaten Demak.
Namun, Sulkhan tak menduga jika tahun itu jadi tahun terakhirnya bisa mengakses jalan tanpa hambatan. Pada 2020, Sulkhan dan seluruh warga Dukuh Timbulsloko tak bisa lagi melewati dua ruas jalan Dukuh Timbulsloko karena terendam air laut.
Setahun berikutnya, warga memutuskan membangun papan kayu sebagai ganti jalan raya yang terendam.
Beberapa rumah warga hanya menyisakan tinggi sekitar 1,5 m hingga 2 m. Untuk masuk ke pintu depan rumah, kita harus membungkukkan badan.
“Kampung ini sudah diviralkan jadi kampung gladak. Semua rumah digladak (fondasinya menggunakan kayu). Kalau diuruk enggak bisa, materialnya enggak bisa ke sini,” katanya.
Dulunya, kampung ini memiliki 400 kepala keluarga. Sekarang tersisa sekitar 101 KK. Sebelum abrasi, kampung ini dihuni 150-an rumah. Sekarang sekitar 60 rumah.
“Yang tinggal di sini kebanyakan tidak punya biaya karena harus punya uang dan tanah untuk bangun rumah di tempat lain,” katanya.

Satu-satunya jalan yang masih dapat dinikmati warga adalah jalan yang menghubungkan Dukuh Timbulsloko dengan Dukuh Dempet. Jalan ini memiliki panjang 800 m. Tapi, jalan ini kadang timbul tenggelam terkena air rob.
Jika air pasang surut, jalan itu muncul. Di saat itu, warga bisa sejenak beraktivitas ke luar dari Dukuh Timbulsloko dengan menggunakan motor ataupun berjalan kaki. Namun, jika air pasang dan jalan itu tenggelam, satu-satunya moda transportasi warga adalah perahu.
Perahu itu berada di belakang masjid Darul Ibad. Jika ingin menggunakan perahu, warga diharuskan membayar ongkos Rp5.000 untuk sekali jalan. Ongkos ini untuk biaya pengganti bensin bagi pemilik perahu.
Kondisi timbul tinggelamnya jalan itu membuat warga yang memiliki kendaraan bermotor kerepotan. Motor tak bisa terparkir di rumah masing-masing warga. Hanya ada dua pilihan: motor terparkir di tempat penitipan di tepi kampung, atau motor terparkir di Dukuh Dempet. Kedua opsi mengharuskan warga membayar biaya parkir Rp2.000 setiap hari.
“Makanya warga sini enggak suka pergi terus-terusan setiap hari. Aku pergi sekali, pergi lagi nggak mau karena harus naik perahu, belum lagi ambil motor yang terparkir harus bayar” katanya
Sulkhan juga khawatir atas pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang Demak. Alasannya, gelombang laut akan bergeser ke wilayahnya tanpa ada perlindungan termasuk mangrove.
Sulkhan tak tahu pasti kapan situasi abrasi dan banjir rob berakhir dari Dukuh Timbusloko. Ia dan mayoritas warga berkeinginan agar pemerintah kembali menghidupkan jalan warga sekaligus berfungsi sebagai tanggul laut.
“Abrasine nambah tiap tahun ini. Saat musim hujan, gelombang di sini gede, ketok depan omah,” katanya
Dukuh Timbulsloko merupakan satu-satunya dukuh di Desa Timbulsloko yang langsung berdekatan laut tanpa ada pembatas, baik sabuk pantai maupun mangrove. Dukuh lain di desa ini seperti Dukuh Bogorame dan Dukuh Pandansari cukup terlindungi dengan keberadaan mangrove.
Pantaun citra satelit memperlihatkan pada 2003, dukuh Timbulsloko memiliki sawah dan tambak seluas 56 hektare yang berada di sisi utara dan selatan. Namun, keberadaan sawah tersebut lenyap tak tersisa dan dihantam gelombang laut. Tak hanya itu, warga juga harus kehilangan jalan sepanjang 1,3 kilometer di dukuh Timbulsloko yang menghubungkan ke Dukuh Bogorame.
Perubahan Kondisi Dukuh Timbulsloko sejak 2003 hingga 2023
Tol Tanggil Laut Tak Bisa Selesaikan Sepenuhnya Masalah Abrasi dan Banjir Rob
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Sultan Agung, Mila Karmilah, mengatakan pembuatan Tol Tanggul Laut Semarang Demak tak bisa menjadi solusi tunggal untuk menyelesaikan abrasi dan banjir rob di Semarang dan Demak.
Mila menjelaskan penyebab abrasi dan banjir rob dapat dilihat pada sejarah alih fungsi lahan di pesisir Demak. Perubahan ini dimulai sejak tahun 1970-an. Ini berawal dari Indonesia yang menjadi pemasok utama udang windu ke Amerika Serikat yang mulai mengkampanyekan kebutuhan makanan sehat.
Dari situ, masyarakat berbondong-bondong beralih profesi dari petani menjadi petambak. Alhasil, lahan sawah dan mangrove berubah jadi lahan tambak. Meski demikian, saat itu rob belum mengkhawatirkan masyarakat.
Memasuki tahun 1980-an, barulah abrasi dan banjir rob mulai mengkhawatirkan. Ini dampak dari beberapa pembangunan di Kota Semarang di Pantai Marina, pembangunan Pusat Rekreasi & Promosi Pembangunan di Tawangsari, dan pengembangan pelabuhan Tanjung Mas. Akibatnya, gelombang laut bergeser ke arah Demak.
“Yang awalnya banjir rob mungkin tidak setiap saat, namun karena pembangunan dua kawasan ini, sekarang robnya hampir setiap hari terjadi,” katanya.
Imbasnya, sebagian besar penduduk dua dukuh di Desa Bedono, yakni Dukuh Rejosari Senik dan Dukuh Tambaksari, direlokasi. Namun, “Mereka yang pindah tahun 2010 sudah mulai mengalami kembali air rob lagi. Artinya, perpindahan itu tak menyelesaikan masalah.”
Abrasi dan banjir rob menjadi lebih parah lagi ketika tahun 2000-an. Pembangunan industri semakin masif di kawasan pesisir Sayung, Demak. Ini diperparah saat industri tersebut menggunakan air tanah dan berimbas pada penurunan muka air tanah.
Mila mencatat, di Kecamatan Sayung, ada sekitar 30-40 pabrik menggunakan air tanah. Sementara itu, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Demak, kawasan industri pun diperluas, yakni mencapai 5.313 ha. Ditambah beberapa lahan pesisir telah beralih menjadi pemukiman.
Cornelius Gea dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menjelaskan pemerintah sebenarnya sadar akan imbas pembangunan tol tanggul laut berimbas ke wilayah lain. Dalam dokumen rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup proyek ini, ada dampak perubahan arus laut ke arah utara.
“Dampak itu adalah perubahan arus laut ke arah Desa Bedono dan Timbulsloko sehingga otomatis dengan proyek ini membuat banjir rob makin parah,” katanya.
Proyek tol tanggul laut juga tak sepenuhnya melindungi abrasi dan banjir rob, menurut Cornel. Masalah utama seperti alih fungsi lahan dan ekstraksi air tanah yang masif oleh pelaku industri sama sekali tak disentuh pemerintah. “Harusnya itu dilihat sebagai akar persoalan dari banjir rob,” katanya.
“Upaya adaptasi terhadap perubahan iklim di Dukuh Timbulsloko itu perlu dicontoh dan diperkuat dengan rumah-rumah panggung dan lain sebagainya,” tambahnya.
Benovita Dwi Saraswati, Sub Koordinator Pengelolaan Ruang Laut Bidang Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng, mengakui pembangunan tol tanggul laut akan menimbulkan dampak ke wilayah lain yang berada di luar tanggul.
“Revegetasi mangrove akan dilakukan penanganan minimal untuk menangani dampak-dampak yang ditimbulkan dari tol tanggul laut,” katanya.
Benovita berkata pembangunan proyek tol tanggul laut bertujuan untuk menyelamatkan lingkungan masyarakat yang terimbas abrasi dan banjir rob parah di pesisir Semarang-Demak. Data dari Pemprov Jateng, abrasi di Kabupaten Demak mencapai 2.119 ha dan abrasi di Kota Semarang 2.020 ha.
Selain itu, pembuatan proyek ini diharapkan dapat membantu meningkatkan perekonomian warga sekitar. Salah satunya ada industri yang kembali bergeliat di wilayah pesisir Semarang-Demak sehingga dapat menciptkan efek ganda ke masyarakat.
Terkait ada usulan warga untuk pembangunan sabuk pantai, ia berkata perlu mengkaji lebih mendalam.
“Kalau di pesisir itu tidak hanya per wilayah penangannnya, perlu terintegrasi, jadi dampak itu bisa diminimalisir,” katanya
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak, Nanang Tasunar, berkata usulan pembuatan sabuk pantai sudah masuk dalam pertimbangan Pemerintah Kabupaten Demak. Pengerjaannya untuk sementara pada 2024 akan mulai dengan rancang bangun rinci terlebih dulu.
“Tahap awal nanti dari Sayung sampai ke Desa Tambakbulusan, nanti ke Morodemak dan tembus ke Jepara,” katanya.
Ia berkata pembangunan sabuk pantai bersifat urgen untuk menangani pesisir Demak dari abrasi dan banjir rob. Masalah ini juga sempat ditinjau oleh Kepala Bappenas dan salah satu wilayah yang dikunjungi adalah Desa Timbusloko.
Hasil dari tinjauan itu, Bappenas sepakat Pemerintah Pusat akan membiayai anggaran pembangunan sabuk pantai.
“Nanti kalau sabuk pantai sudah jalan, insyaallah wilayahnya aman,” katanya.