Melihat abrasi di Desa Balong, Jepara, yang bertambah parah akibat ada penambangan pasir laut untuk proyek Tol Tanggul Laut Semarang-Demak, para nelayan dari Demak menolak rencana yang sama.

Abrasi dan banjir rob menyulitkan aktivitas warga sehari-hari di Desa Morodemak. Untuk dapat mengakses ke sana, ruas jalan di Pasar Gebang tenggelam. Tinggi air rob mencapai 40-an cm dan sepanjang 500-an meter.
Tak heran terlihat beberapa mobil terparkir menepi di pinggir jalan, meski sesekali beberapa mobil menerabas jalan tersebut. Sementara warga yang mengendarai sepeda motor harus memutar dengan melewati jembatan yang tinggi dan amat curam bernama Jembatan Cinta.
Rob telah menghancurkan bangunan Taman Pendidikan Al-Qur’an. Juga beberapa bangunan vital seperti aula pertemuan, yang akhirnya ditinggikan 1 meter. Saat rob pernah setinggi 1 meter juga menenggelamkan tempat pelelangan ikan,” cerita Abdul Manaf, nelayan Desa Morodemak.
Abdul berkata tinggi rob seringkali menghambat distribusi pengangkutan ikan dan aktivitas masyarakat sehari-hari. Kalau banjir rob setinggi setengah pinggang dewasa, praktis aktivitas sekolah pun diliburkan.
Imbas rob setiap tahun ditambah amblesnya tanah di desa ini juga membuat peninggian jalan dan rumah jadi hal lumrah.
Rumah Abdul telah ditinggikan sekitar 1 meter pada 2019. Menelan uang tabungannya Rp50 juta. Sayangnya, hanya bertahan empat tahun rumahnya kembali kemasukan air rob.
“Pembenahan rumah itu kalau ekonomi kita lancar,” katanya. “Meski begitu, saya tetap di sini karena sementara belum ada yang pindah dan terbiasa dengan rob.”
Abdul berkata rob di Desa Morodemak bakal lebih parah jika tak ada pasir laut. Pasir laut berhasil mengurangi deras gelombang laut mengarah ke desa.
Namun, pada 2023, Abdul kaget saat mendengar ada wacana penambangan pasir laut. Ia pun membicarakan informasi dan rencana itu ke sesama nelayan, tak cuma nelawan Desa Morodemak tapi juga nelayan Desa Purworejo dan Desa Margolinduk.
Kesimpulannya, ribuan nelayan kompak menolak penambangan pasir laut.
“Kalau pasir itu diambil, dan kita enggak dikasih benteng semaksimal mungkin, bisa hancur desa ini. Pasir itu bisa jadi pemecah gelombang. Kalau diambil, bisa sangat susah nelayan,” katanya
Aji Musaka, nelayan Desa Morodemak, menduga rencana penambangan pasir laut bermula pada September 2022. Waktu itu ia didatangi beberapa orang yang mengaku “peneliti” dari perguruan tinggi negeri di Semarang.
Para peneliti itu meminta diantarkan ke lokasi pasir laut di Desa Morodemak. Jarak pasir laut dari dermaga sekitar 300 meter, atau kurang dari 5 menit dengan kapal.
“Mereka ngebor sampai kedalaman 5 meter di dermaga Muara Demak, daerah lain diambil sampel dari permukaan,” katanya.

Beberapa minggu berselang, Aji Musaka didatangi orang lain yang ingin ke lokasi pasir laut. Kali ini bukanlah peneliti, melainkan dari petugas Kantor Pelabuhan Perikanan Pantai Demak dan salah satu perusahaan konstruksi. Lokasi yang dituju lebih luas, mulai dari Pantai Morodemak sampai Pantai Wedung.
“Waktu itu kami tanya, ‘Ini untuk apa?’ Katanya, untuk pembangunan tanggul Demak,” katanya
Pada Juni 2023, Aji mendapatkan kabar dari pernyataan Bupati Demak Esti’anah bahwa pasir laut di Desa Morodemak akan dikeruk untuk pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang Demak.
Aji bersama sejumlah nelayan lantas mengadakan audiensi dengan Pemerintah Kabupaten Demak pada 5 Juli. Hasilnya, Pemkab Demak dan Komisi Maritim DPR dan Kementerian Kelautan dan Perikanan memutuskan meninjau lokasi tersebut pada 17 Juli.
Sayangnya, kunjungan mereka dengan menggunakan dua kapal hanya meninjau sedimentasi laut di dekat dermaga, bukan pasir laut. Adapun beberapa nelayan yang protes dan meminta waktu untuk berdiskusi dengan mereka, justru dihiraukan.
Aji berkata di Desa Morodemak, selain pasir laut juga ada sedimentasi laut. Nelayan sudah beberapa tahun mengeluhkan hal itu lantaran menyulitkan kapal keluar masuk dermaga.
Oleh karena itu, para nelayan meminta sedimentasi laut itu diuruk tapi sebatas untuk kepentingan keluar masuk dermaga, atau disebut lak dermaga. Adapun jika pengurukan lebih dari itu, nelayan memprotes karena bisa mengarah ke penambangan pasir laut.
“Kita mau normalisasi sungai dan membuka alur pintu masuk kapal. Usulan kami itu pengerukan dan kelanjutan pembangunan dermaga sepanjang 400-500 meter yang mangkrak,” katanya.
Selain itu, Aji meminta pengurukan sedimentasi laut di lak dermaga harus dikerjakan oleh pemerintah. Jika pihak swasta yang mengerjakan, katanya, “itu penambangna pasir namanya.”
Aji sadar bahaya penambangan pasir laut bukanlah omong-kosong. Ia melihat abrasi di Desa Balong, Jepara, yang bertambah parah akibat ada penambangan pasir laut untuk proyek Tol Tanggul Laut Semarang-Demak.
“Kalau seandainya itu terjadi di sini, jelas nasibnya akan sama seperti di Jepara, rumah-rumah dipinggir laut habis,” katanya.
Aji, yang tinggal di Desa Morodemak sejak kecil, masih ingin berharap anaknya kelak masih bisa menikmati desa ini. Ia cukup yakin keberadaan tanaman mangrove dan pasir laut yang terus bertambah akan menjadi benteng kuat untuk melindungi wilayahnya dari ancaman abrasi dan banjir rob.
Sebagian besar warga juga banyak yang sadar akan pentingnya keberadaan pasir laut. Hal ini terlihat saat banyak penduduk lebih memilih meninggikan rumah dengan cara membeli material pasir dari kantong pribadinya, dibandingkan mengambilnya langsung dari pasir laut.
“Eh, ini kok ada investor masuk mau ambil pasir? Keuntungan bagi kita enggak ada. Jelas dampaknya akan merugikan desa kita. Nelayan di sini jumlahnya hampir ribuan,” katanya.
Serat.id mengamati penambangan pasir laut dari pantauan citra satelit Google Earth. Pada tahun 2023, perkiraan pasir laut tersebut memiliki luas sebesar 90,3 hektar dengan warna coklat dan warna kehitaman.

Patria Rizky Ananda, manajer dan kampanye advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah, berkata penambangan pasir laut akan berdampak langsung pada lingkungan penduduk sekitar. Jika pasir laut dikeruk, abrasi bakal berdampak parah.
“Memang yang disoroti Tol Tanggul Laut itu material tambang pasir lautnya itu dari mana? Mau ambil dari manapun kalau penambangan pasir laut itu merugikan nelayan,” katanya.
Ia menjelaskan penambangan pasir laut akan menyebabkan kerugian bagi hasil tangkap nelayan. Hal ini lantaran dampaknya akan membuat habitat ikan jadi rusak akibat air yang keruh.
Cornelius Gea dari LBH Semarang juga menuding wacana penambangan pasir laut tak memperhatikan aspirasi masyarakat lantaran tak ada satupun nelayan yang terlibat dalam rencana tersebut.
Cornel menilai penambangan pasir laut justru bakal menyebabkan abrasi dan banjir rob lebih parah di tiga desa terdampak, yakni Desa Morodemak, Desa Margolinduk, dan Desa Purworejo.
“Kalau pasir laut itu jadi ditambang,” ujarnya, “banjir rob akan semakin parah yang diderita warga, apalagi kawasan mangrove di Morodemak sangat bergantung pada pasir laut,” jelasnya.
Memang, kata Cornel, dalam pembangunan TTLSD ini kajian analisis mengenai dampak lingkungan tidak pernah jelas, terlebih terkait asal-usul material urukan yang akan digunakan.
Dua tahun lalu, material urukan TTLSD dari pasir laut di Desa Balong, Jepara. Akibatnya, abrasi dan banjir rob menjadi lebih parah di kawasan itu. Maka, berkaca pada peristiwa yang sudah ada, penambangan pasir laut justru hanya merugikan nelayan. Selain itu, penambangan pasir laut akan merusak ekosistem pesisir, baik mangrove maupun terumbu karang serta ikan.
Seharusnya Pemkab Demak dan Pemprov Jateng berfokus pada permintaan nelayan yang meminta normalisasi lak dermaga. “Kalaupun harus dipulihkan, hanya lak keluar masuk kapal,” tambahnya.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Demak Nanang Tasunar menyangkal wacana penambangan pasir laut dalam jangka waktu dekat di Pantai Morodemak. Ia beralasan perizininan penambangan pasir laut bukanlah suatu hal mudah, meskipun telah ada PP No.26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Pemerintah, katanya, akan berfokus pengurukan sedimentasi laut. Pengerjaannya akan dilakukan Pemprov Jateng karena wilayah itu masih di bawah 12 mil dari garis pantai.
Sub Koordinator Pengelolaan Ruang Laut Bidang Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng, Benovita Dwi Saraswati, mengakui pernah ada permintaan penambangan pasir laut di Pantai Morodemak. Namun, permintaan ini tidak bisa dilaksanakan lantaran tak sesuai ketentuan.
Pertimbangan lain menolak rencana itu karena aturun turunan PP 26 Tahun 2023 masih dikaji pemerintah pusat. Aturan turunan itu berupa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan.
Selain itu, jika ada penambangan pasir laut, juga harus sesuai Perda Pemprov Jateng No. 13 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jawa Tengah Tahun 2018-2038. Dalam perda ini disebut bahwa penambangan pasir laut hanya dapat dilakukan dengan jarak 2 mil dari garis pantai.
“Kami belum tahu ke depan akan ada penambangan pasir laut atau tidak, tapi yang penting kami tetap akan mengutamakan kepentinggan nelayan terutama nelayan kecil,” katanya. “Ketika dilakukan penambangan, harus dilakukan kajian aspek strategis.”
Perihal ada pengurukan pada arus keluar masuk kapal, Benovita menyebut akan dikerjakan Dinas PU Bina Marga dan Cipta Karya Provinsi Jawa Tengah dengan tetap berkoordinasi pada KKP Demak.
“Karena itu untuk kepentingan nelayan yang susah keluar masuk dari dermaga. Itu akan jadi pertimbangan kami. Nanti kami koordinasikan dan akan kami lakukan normalisasi,” katanya.