Pekerjaan sopir truk penuh tantangan. Sekaligus risiko. Apalagi jika mengangkut muatan ke wilayah barat Indonesia. Namun Kondisi ini tak terjadi untuk jalur ke wilayah Nusa Tenggara Barat. Jalur ini menjadi idaman para sopir truk.
WAHIDI AKBAR SIRINAWA, Mataram
********************************
30 tahun bukan waktu yang sebentar. Rentang waktu yang membuktikan betapa pengalamannya Supri. Sopir truk asal Jember, Jawa Timur. Menaklukkan kerasnya kehidupan jalanan.
Ia masih berusia 25 tahun ketika dipercaya bosnya mengemudikan truknya. Jenisnya fuso. Yang bisa mengangkut muatan hingga 15 ton sekali jalan. Yang rodanya berjumlah 10.
Truk itu memang bukan kendaraan pertama yang ia bawa. Lima tahun sebelumnya, Supri sudah lihai mengendalikan truk dengan muatan kurang dari 8 ton. Pengalamannya itu membuat ia dipercaya membawa truk dengan ukuran lebih besar.
Ketika masih membawa truk berukuran kecil, trayek angkutannya hanya di seputar Jawa Timur saja. Situasinya berubah saat ia dipercaya membawa truk fuso. Wilayah pengantaran muatannya menjadi lebih jauh.
Supri pernah bolak-balik Surabaya-Medan untuk mengantar buah-buahan. Dilakukannya selama kurun waktu sekitar lima tahun. ”Itu yang paling jauh jarak tempuhnya,” ujarnya.
Bagi ayah empat anak ini, sopir truk angkutan bukan pekerjaan yang mudah. Mereka harus memiliki mental baja. Tahan banting di jalanan. Hingga harus kuat menahan lapar. Untuk persoalan menahan lapar, kata Supri, dibutuhkan apabila mereka terjebak macet dalam perjalanan. Entah karena ada perbaikan jalan. Atau lamanya bongkar muat di pelabuhan.
Macet berarti pengeluaran untuk makan minum semakin banyak. Begitu juga dengan kebutuhan bahan bakar. ”Uang makan kita kan dijatah. Misalnya uang jalan kita dikasih Rp5,5 juta untuk tiga hari jalan. Ternyata kena macet, di jalan bisa sampai seminggu, ya mau gak mau puasa,” tutur Supri.
Risiko yang dihadapi bukan saja soal lapar. Tapi juga pemalakan hingga penodongan menggunakan senjata tajam di jalan. Dan, kata Supri, jalur yang paling rawan berada di wilayah Sumatra.
Bajing loncat hingga pungutan liar kerap ditemui Supri saat melintas jalur di wilayah Sumatera. ”Jalur merah di sana dah. Kurang-kurang nyali sedikit, rugi besar kita,” ujar pria 50 tahun ini.
Abdul Karim, sopir truk asal Malang, menimpali perkataan Supri. Ia membenarkan kondisi seperti itu terjadi di jalur Sumatera. Mereka kerap menghadapi aksi premanisme. ”Katanya sekarang lebih enak, uda ada jalan tol di sana,” ujar Karim.
Karim menyebut jalur di Sumatra sebagai sarang macan. Ucapannya bukan karena mendengar cerita dari sesama sopir truk, melainkan pengalamannya sendiri. ”Sangar-sangar di sana,” ucap Karim.
Aksi premanisme terjadi di beberapa persimpangan jalan. Mereka kerap meminta uang. Jumlahnya dari Rp2 ribu hingga Rp10 ribu. Bagi sopir truk, nominal tersebut cukup banyak. Apalagi jika harus dikeluarkan berkali-kali.
”Kalau cuma sekali ya gak apa-apa. Tapi pas dulu saya lewat sana, itu sering kena,” ujarnya.
Jika Supri sudah 30 tahun sebagai sopir truk, pengalaman Karim jauh lebih lama lagi. Sudah 46 tahun ia mengemudikan kendaraan besar itu. Sehingga ia hafal harus bersikap seperti apa ketika menghadapi risiko jalanan.
Misalnya aksi premanisme yang kerap ditemuinya, dianggap Karim sebagai risiko pekerjaan. Uang yang mereka minta pun disebutnya sebagai sedekah. Karena itu, ia tak pernah sekalipun mencoba-coba untuk melawan
”Gelagatnya saya hafal, apalagi sudah lama di jalan. Kecuali baru satu atau dua hari ya, mungkin deg-degan,” kata Karim.
Karim memang menghabiskan sebagian umurnya sebagai sopir. Seluruh kehidupannya lebih banyak di jalanan. Di balik kemudi truk berbentuk bundar itu.
Ketika mengangkut muatan dari Malang menuju wilayah Sumatra, Karim sudah harus meningkatkan kewaspadaan selepas dari Semarang, Jawa Tengah. Ia akan lebih waspada lagi ketika tiba di Lampung. Memastikan barang muatannya tidak berkurang sedikitpun.
Ia juga harus kuat-kuat menahan kantuk. Tidak bisa sembarangan berhenti di pinggir jalan, kemudian tidur di kabin truk. Karim harus terus melajukan kendaraannya untuk mencari rest area atau pom bensin untuk berhenti.
”Itu juga pilih-pilih lagi. Harus dipastikan pom bensinnya aman, ramai. Kalau gak begitu, bisa-bisa muatan digondol orang,” jelas Karim.
Berbeda dengan jalur arah barat Indonesia, di arah sebaliknya, menuju timur Indonesia, Karim bisa lebih santai. Ketika sudah merasa ngantuk, ia bisa langsung memarkirkan truk di pinggir jalan. Lalu berbaring sejenak. Tanpa perlu merasa khawatir ada maling yang menggasak muatannya.
Karim berani mengambil kesimpulan seperti itu. Sebab sudah 12 tahun terakhir ia bolak balik mengantar muatan. Dari Malang menuju Lombok. Selama itu pula, tak pernah ia mengalami kejadian berupa perampokan atau kemalingan.
”Enak wis kalau ke sini. Aman. Kita berhenti di pinggir jalan, tinggal tidur, masih aman semua barang-barang,” tandas Karim sambil mengisap asap dari rokok kreteknya. (bersambung/r3)